Google Custom Search

Tuesday, January 9, 2007

Narsisus

oleh: Mohamad Sobary

Orang Yunani memiliki tokoh mitologis, Narsisus, yang jatuh cinta kepada dirinya sendiri. Tiap kali memandang dirinya di permukaan air, Narsisus kagum akan ketampanan wajahnya.

Novelis humoris dan tangkas memainkan ironi, Paulo Coelho, dalam kisah pembuka novelnya, The Alchemist, menceritakan betapa banyak peri hutan merasa iri kepada telaga, tempat tiap pagi Narsisus mengagumi dirinya.

"Enak ya kamu, tiap pagi memandang wajah tampan dan mata jernih itu," kata peri hutan.

"Apa dia tampan dan matanya jernih?" jawab telaga.

Lho, kamu melihatnya tiap pagi bukan?"

"Tidak. Aku tak sempat melihatnya sebab tiap kali ia jongkok di tepiku, aku sibuk memandang kejernihan wajahku sendiri yang terpantul di matanya."

Saya kagum membaca ketangkasan humor novelis ini. Dengan ringkas dan bagus ia hendak mengatakan, seperti para psikolog yang berurusan dengan "abnormalitas"—bahwa si telaga, mungkin maksudnya kita—sering lebih narsisisus daripada Narsisus sendiri. Sering kita berperilaku tak sehat, narsisme, tetapi tak menyadari bahwa kita mengidap gangguan jiwa.

Gejala tak sehat ini direkam pula dalam buku Alice Miller, The Drama of the Gifted Child: The Search for The True Self (Drama Anak-Anak Kita: Membedah Sanubari Mencari Diri Sejati) yang menguraikan betapa berjuta-juta anak di dunia menjadi korban watak narsisme orangtua mereka sendiri.

Kemudian anak-anak itu berangkat dewasa, secara narsistis pula. Dan ketika menjadi orangtua, mereka pun memperlakukan anak-anak seperti dulu mereka diperlakukan secara tak sehat.

Cinta orangtua yang narsistis tadi, pada hakikatnya wujud cinta pada diri mereka sendiri. Orangtua menyayangi anak bukan demi si anak melainkan demi diri sendiri.

Dan kita pun sering diperhadapkan pada sikap tak terduga. Anak yang tampak manis dan lembut, ternyata menyimpan potensi "bom" rasa cemas, takut, frustrasi, juga dendam secara sosial, dan dengan mudah meledak. Anak bunuh diri tanpa alasan masuk akal. Orang dewasa membunuh dengan kejam orangtua, istri, suami, atau anak sendiri juga tanpa alasan masuk akal.

Tentu saja tak masuk akal, sebab semua alasan terpendam di bawah sadar, disembunyikan rapat di balik rasa cemas yang disulap menjadi kepatuhan. Mereka patuh bukan karena patuh, tapi karena takut.

Menjadi anak saja sudah sulit. Apa lagi menjadi anak di dalam keluarga otoriter. Menjadi rakyat itu sulit, jalanan macet, dan harus mengalah dengan frustrasi tiap kali ada pejabat lewat dengan kawalan polisi.

Kita takut pada orangtua otoriter, guru galak, polisi, satpam, tentara, pengawal presiden atau wakil presiden, ajudan menteri yang lebih dari menteri, atasan di kantor yang melebihi kuasa Tuhan, dan sikap banyak Bank yang mempekerjakan preman kejam menjadi "debt collector" berjiwa jin dan hantu.

Mengapa kita sering membikin takut orang lain, dengan rasa bangga? Mengapa kecemasan orang lain menjadi kebahagiaan kita? Mungkin karena kita pun tak sepenuhnya waras.

Para selebriti—intelektual maupun yang sama sekali tidak intelek dan sebetulnya membosankan—hati-hatilah terhadap pengagum, atau pencinta fanatik. Banyak tokoh dunia dibunuh—juga Ghandi yang mulia dan agung—oleh pencinta dan pengagum fanatiknya.

Mengapa banyak pencinta dan pengagum fanatik pada tokoh publik? Mungkin karena pada dasarnya banyak orang tak pernah mendapat—dan karena itu membutuhkan—cinta dan kekaguman. Lalu mereka mengagumi orang lain demi diri mereka sendiri.

Pengagum sobat saya, kiai AAgym, berbalik menjadi dengki, marah, mengutuk, karena sobat ini dianggap cermin diri mereka, tapi cermin itu dibikin retak. Diri mereka yang cemas, merasa kurang, merasa rendah, dan berharap, tiba-tiba dikecewakan. Dulu AAgym pasti tak terlalu sadar bahwa kekaguman yang menjulang ke langit dari begitu banyak warga yang butuh kagum, pada dasarnya juga potensi kebencian. Kiai ini mungkin mengira mereka kagum pada dirinya, padahal orang-orang itu kagum hanya pada diri mereka sendiri seperti Narsisus dan Telaga dungu itu,

Cinta mereka tak sama dengan cinta pada Negara, yang menurut John Lenon membuat orang rela "to kill or die for" rela berkorban. Cinta dan kekaguman publik pada tokoh agama, seni, ilmu, filsafat, dan tokoh politik yang bisa mudah menang pemilu, disertai "bom" kemarahan, jengkel, kecewa, benci, dan niat balas dendam, dari memanggul setinggi langit ke niat mengubur dalam-dalam hingga kebencian terpuaskan.

Sekarang para tokoh politik mungkin mulai sadar, betapa tak sehat suasana pemujaan politik di masyarakat. Sang Terpuja, pelan-pelan diancam kebencian, kemarahan, rasa kecewa, frustrasi, dan serangan politik bertubi-tubi. Musuh politik menari-nari di atas kebencian terhadap orang lain.

Ini pun sebenarnya kedunguan yang tak disadari. Dikiranya dirinya tak mungkin dikenai sikap serupa. Kenapa kita tak mampu mengelola cinta dan kekaguman tetap menjadi cinta dan kekaguman?

Karena kita terbius popularitas. Kita terbius aroma pujaan, dan lupa membalas dengan kerja keras untuk mewujudkan harapan. Jangan lupa, di dunia politik, pendukung, pencinta, pemuja, tim sukses, intinya mendukung, mencintai, memuja, dan menyukseskan harapan mereka sendiri. Begitu harapan dikecewakan, mereka siap mengasah pedang pembunuh naga.

Pengagum, atau pemuja, juga dungu. Orang kok dipuja. Salah sendiri. Watak fanatis harus diubah. Kita mencintai, atau memuja secara dewasa. Dan kalau orang cukup dewasa, ia tak perlu pujaan. Akal, rasionalitas, dan hati harus seimbang supaya kita bisa meminta dan bisa memberi.

Kalau memberi—cinta dan pemujaan—ya harus memberi. Kita tak boleh terus-menerus naïf, cengeng dan mentah dalam menyikapi tokoh. Kita tak boleh terlalu dekat Narsisus.

No comments: