Google Custom Search

Sunday, January 7, 2007

Belum Haji Sudah Mabrur

Sumber: dari sini
Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga
kami. Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT)
yang kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun
jumlah uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2
juta. Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya
berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri.
Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik
sendiri.

Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah.
Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah
yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah
Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah
remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta.
Namun, seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak
laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami.
Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama
emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah
tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.

Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia
berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang
sedang mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa.
Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun
bersama emaknya.

Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia
biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus
cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga
dan lagi-lagi terdampar di Jakarta.

Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali hidup sebatang kara
dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untung
di kampung kami ada pesantren kecil. Para santrinya adalah anak-anak
petani yang biasa makan nasi seperti yang dijual Yu Timah.

Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia
mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih
bisa menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut
jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor.
Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf.

Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun setelah
menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu.
Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas.
Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan
mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.

Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya
bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah. ''Pak, saya mau
mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil. ''O,
tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah tutup.
Bagaimana bila Senin?''
''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.''
''Mau ambil berapa?'' tanya saya.
''Enam ratus ribu, Pak.''
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''

Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.
''Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya
tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.''

Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi
kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan
tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang
tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh
keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.

''Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus
ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan
wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada.
Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli
kambing kurban?''

''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama
ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi
pemberi daging kurban.''

''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.''
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu
minta diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.

Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah
mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban
yang ditinggalkan oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat
awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela
mengurbankan hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini muncul karena
umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah watak
orangnya.

Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu
yang belum naik haji, atau tidak akan pernah naik haji, namun kamu
sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu
tidak kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang bagus. Uangmu
malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang
dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya
ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga.
Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.
Oleh : Ahmad Tohari

No comments: